AJA WERA, ANTARA LARANGAN DAN TUNTUNAN
Abstract
Umat Hindu dikenal taat dan disiplin dalam menjalankan ajaran agamanya, terutama yang berkaitan dengan ritual (yadnya). Sehingga, walaupun relatif tidak menguasai landasan tattwa- jnananya, seperti teologi dan filosofinya, umat Hindu merasa mantap dan penuh keyakinan melaksanakan kewajiban ritualnya. Penyebabnya adalah kepatuhannya pada adagium ‘gugon tuwon’, yang biasanya disertai anak kalimat ‘nak mulo keto’ (memang sudah demikian adanya). Sehingga umat tinggal melaksanakan kewajiban ritual itu tanpa perlu bertanya apalagi mempertanyakan landasan kebenarannya. Konsekuensinya, kebanyakan umat Hindu relatif “awidya†(awam pengetahuan) dalam hal pemahaman tattwa (filsafat), tetapi disiplin dalam hal melaksanakan ritual (upacara). Kondisi keawaman pengetahuan itu semakin ajeg dengan adanya sesanti Aja Wera, yang dipahami sebagai bentuk “larangan†mempelajari atau mendalami ajaran agama. Jika larangan itu dilanggar, konon katanya akan menyebabkan orang bisa “inguh†(galau), yang apabila dibiarkan lama-lama bisa “buduh†(gila). Padahal, jika diselami sejatinya Aja Wera itu adalah konsep pembelajaran yang memberikan tuntunan kepada umat Hindu bahwa jika belajar atau mendalami ajaran agama diwajibkan untuk tidak mabuk atau sombong lantaran merasa telah pintar menguasai ajaran agama. Inilah kondisi dilematis konsep Aja Wera, berada di anatara larangan dan tuntunan.